suatu waktu,“ demikian seorang
akhwat dalam suratnya menuturkan, "(saya) bertemu dengan beberapa akhwat
yang sedih dengan godaan dari sekian ikhwan dalam sekian perjumpaan."
“Apa jawab atas masalah ini?”
kata akhwat tersebut melanjutkan, “Ada kesamaan
dalam jawaban, bahwa ketika seorang akhwat sudah menikah, maka insya-Allah
kemungkinan digoda lebih kecil karenasi penggoda akan lebih mikir-mikir kalau
ia sudah bersuami.”
Akhwat itu kemudian melanjutkan,
“Sampai-sampai, ada yang berencana untuk memakai cincin nikah walaupun
belum menikah, demi menghindari godaan. Karena ternyata berkerudung pun masih
sering digoda. Sehingga nikah dipandang dapat digunakan sebagai kerudung
keamanan.”
Ketika usia semakin bertambah,
orang semakin peka terhadap dorongan untuk berumah-tangga. Pada diri manusia,
memang terdapat naluri untuk mengikat persahabatan dengan lawan jenis. Dorongan
ini muncul pada diri laki-laki maupun perempuan. Seorang wanita yang matang,
mengekspresikankebutuhannya terhadap lawan jenis sebagai teman hidup dengan
cara-cara yang dewasa dan mempersiapkan diri baik-baik untuk menyambutnya,
jauh-jauh hari sebelumnya. Kerinduan terhadap teman hidup yang membantunya bertakwa
kepada Allah, ditunjukkan dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menata hati
dan tujuan.
Sementara itu, wanita yang belum
matang orientasi hidupnya lebih banyak menunjukkannya melalui bentuk-bentuk
lahiriah. Kurang matangnya kondisi psikis, membuat ia kurang mempercayai daya
tarik psikis. Apalagi ikatan-ikatan yang lebih
bersifat ideologis atau menyentuh
kedalaman aqidah. Ia akan lebih mempercayai daya tarik badaniah. Bahkan,
padataraf ini pun ia sering mengalami keraguan, sehingga memilih kosmetik untuk
membuatnya lebih menarik. Ini di satu sisi. Di sisi lainnya, ketika ia mulai
menginjak usia yang layak baginya untuk menjadi istri dan ibu, terkadang ia
“harus” disibukkan oleh laki-laki yang juga sudah mulai menginjak masanya.
Sebagian laki-laki hanya merasakan dorongan, tetapi belum memiliki keberanian
untuk sungguh-sungguh menemaninya sebagai suami yang setia dan bertanggung
jawab. Sebagian telah memiliki niat dan keinginan untuk bersungguh-sungguh
menjalin ikatan pernikahan dengan seorang akhwat yang siap dan qanitat, tetapi
masih ada kendala-kendala psikis. Masih ada keraguan, sehingga ia lebih memilih
untuk melemparkan godaan-godaan halus atau godaan-godaan yang agak lebih
terang-terangan dengan harapan bisa bersambut dengan pertanyaan serius dari akhwat
(siapa tahu?).
Sebagian ikhwan mengalami kejutan
beitumendengar kajian tentang pentingnya menyegerakan nikah, sehingga ia
menghadapi akhwat dengan semangat meluap-luap, apakah ia siap dikhitbah.
Sayang, dorongan yang meluap-luap itu kadang tidak disertai dengan kesiapan
dalam hal-hal lain, terutama dalam hal ilmu berkenaan dengan tugas
kerumahtanggaanmaupun dalam memenuhi kebutuhan istri. Di antara tiga kebutuhan
yang harus dipenuhi, ada kalanya baru satu yangia miliki, yaitu kesiapan
memenuhi kebutuhan biologis. Sedang kebutuhan psikis dan kebutuhan ma’isyah(nafkah),
lazimnya kurang diperhatikan. Apa lagi menjelang hari pernikahan tentu lebih
banyak lagi kebutuhan yang harus dipenuhi seperti mencari dekorasipernikahan, mencari undangan pernikahan (undangan unik),
hingga mencari souvenir pernikahan. Seorang ikhwan bahkan sempat mengemukakan
pendapatnya, bahwa orangtua mestinya
membiasakan diri menumbuhkan budaya yang memungkinkan anak laki-lakinya segera
menikah dengan jalan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang akan terbentuk
itu. Padahal kewajiban memenuhi kebutuhan ekonomi ada pada suami, bukan pada
orangtua suami.
Sebagian ikhwan telah menyiapkan
bekal secara sungguh-sungguh sehingga betul-betul bisa menjadi pendamping istri
yang insya-Allah diridhai Allah. Pada diri mereka barangkali masih banyak
kekurangan, meskipun demikian mereka dengan serius berikhtiar untuk memperbaiki
diri dalam hal kesiapannya memenuhi tiga kebutuhan istrinya maupun dalam hal
kesiapan memikul tanggungjawab sebagai ayah, anak, dan menantu. Kemampuannya
mencukupi ma’isyahbarangkali belum memadai, walaupun begitu mereka memiliki kesungguhan
untuk memenuhinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Yang demikian ini,
insya-Allah lebih siap untuk mengemban tanggungjawab besar di balik
mitsaqan-ghalizha. Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jallamemberikan pertolongan
kepada mereka. Allahumma amin. Situasi psikis yang berbeda-beda, jugajenjang
kedewasaan yang tak sama, melahirkan sikap yang beragam dalam menghadapi
dorongan untuk mencari teman hidup. Ada yang berkeinginan sekedar untuk
melegitimasi keinginan bersebadan dengan lawan jenis, tanpa harus jatuh ke
dalam dosa. Tetapi, mereka menghendaki untuk tidak tinggal satu rumah. Sebagian
berkeinginan kuat untuk terikat secara resmi melalui pernikahan yang sah di
hadapan agama, negara, dan dalam pandangan masyarakat, walaupun kondisi yang
mereka hadapi tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Mereka memilih ini karena
di dalamnya ada kemaslahatan yang lebih besar dan kedudukan wanita lebih mulia,
karena agama menghendaki suami yang memuliakan istrinya dengan seutama-utama
kemuliaan yang mampu ia berikan. Keutamaan ini terutama berkait dengansikap dan
perlakuan. Di sini, ada mujahadah. Ada perjuangan besar yang insya-Allah
muliadi hadapan Allah dan mempesona di hati istri. Kelak, insya-Allah kita akan
merasakan keindahannya,di dunia maupun di akhirat.
Ada banyak mujahadah(perjuangan)
pada masa-masa ini. Perjuangan untuk menyiapkan sekaligus menambah bekal dalam
mendampingi suami dan menyusui anak dengan tenang di tengah malam. Perjuangan
untuk menegakkan prasangka yang baik (husnuzhan)kepada Allah. Pasti Ia
menolong, sebagaimana Ia mempertemukan Zulaikha sebagai istri Yusuf a.s.
setelah bertahun-tahun Zulaikha berdoa karena tidak kuat menahan sakitnya
merindukan Yusuf yang dicintainya. Perjuangan untuk tetap menjadi muslimah yang
memiliki komitmen terhadap agamanya. Dan juga, perjuangan untuk tetap
mempertahankanbusana muslimah beserta identitas keislamannya ketika
dilandakeraguan, sedang pada saatyang sama mereka yang menanggalkan hijab juga
mengalami masalah yang sama.
Apakah engkau mengira mereka yang
berlepas diri, yang bergandengan tangan dengan pemuda yang ia inginkan, tidak
mengalami ketidakpastian? Tidak. Sama sekali tidak. Insya-Allah engkau lebih
tenang. Ketika saya sedang mengerjakan buku ini, saya menerima berbagai surat.
Salah satunya “mengeluhkan” masalah ini. Seorang cewek mempunyai teman
laki-laki. Selama ini keinginannya tak “terlalu jauh”. Akan tetapi suatu
ketika, teman laki-laki itu menginginkan hubungan suami-istri. Cewek itu menangis
terus. Ia bingung (ada saran?).
Zaman memang telah
berubah.Gadis-gadis sekarang semakin lambat dewasa. Padahal mereka mengalami
menstruasi (haid) pada usia yang lebih dini dibandingkan dengan wanita-wanita
sebelum mereka. Para lelaki juga tidak banyak dipersiapkan oleh keluarganya
ataupun mempersiapkan dirinya sendiri untuk menjadi dewasa secara penuh ketika
mereka telah melewati usia 20 tahun. Padahal, mereka mengalami mimpi indah
(ihtilam)pada masa yang lebih awal dibandingkan dengan generasi orangtua
mereka. Sementara ihtilamseharusnya
--begitu kalau kita menengok fiqih-- menjadi pertanda datangnya masa
‘aqil-baligh(akalnya sampai, kedewasaan intelektual). Segera sesudah mengalami
ihtilam(mimpi indah), mereka seharusnya sudah siap untuk memikul
taklif(pembebanan tanggung-jawab). Salah satunya, membiayai hidupnya sendiri
dan anakorang lain (jika sudah menikah) bagi laki-laki, selambat-lambatnya pada
usia 18 tahun.
Berbagai informasi yang diberikan
melalui media massa, penataran, serta iklim yang tumbuh dalam keluarga, juga
banyak yang tidak mendorong mereka untuk siap mencapai kedewasaan dalam arti
yang utuh ketika mereka telah mencapai kemasakan seksual (sexual maturation).
Akibatnya, kedewasaan sekaligus tanggungjawab mereka terlambat beberapa tahun
dibanding kemasakan seksualnya. Apalagi banyak di antara mereka yang tidak
mempunyai bekal ilmu, orientasi, dan misi yang kuat sebelum mereka mengalami
kemasakan seksual. Keadaan ini, acapkali, menimbulkan reaksi-reaksi impulsif
terhadap lawan jenis.Ini menimbulkan beban psikis, meskipun banyak di antara
mereka yang tidak menyadari apa yang terjadi pada dirinya.
Media massa juga kerap
menyampaikan informasi yang timpang, searah, tidak adil, dan kadang bahkan
menyesatkan. Media massa menjadikan informasinya sebagai alat eksploitasi bagi
satu kepentingan tertentu (maaf, saya menggunakan kata “tertentu”) terhadap
pembacanya yang berada pada masa rawan ini. Alasan psikologis dan medis sering
digunakan, meskipun tidak sungguh-sungguh memiliki pijakan ilmiah, sehingga
para gadis dan pemuda berada dalam situasi ketakutan ketika akan melangkah ke
pernikahan yang tergolong dini tanpa tahu bagaimana mesti menyikapinya.
Variabel pengaruh seolah-olah hanya terletak pada faktor usia, padahal usia
tidak bisa mengindikasikan tingkat kedewasaan dan tanggungjawab seseorang.
Banyak yangsudah hampir jadi sarjana, usia sudah menginjak 25 tahun, tetapi
pola pikirnya masih sama dengan pola pikir anak SMA. Saya sering tidak paham (mungkin
karenasaya tidak tergolong orang jenius) dengan apa yang berlangsung di
sekeliling.Menikah usia muda dikecam dalam berbagai kesempatan (bahkan melalui
jalur ilmiah), akan tetapi kondom dijual bebas dengan harga murah. Sementara
itu, ekspos sumber-sumber rangsang seksual pun dibiarkan meningkat,
terutamamelalui TV dan tabloid-tabloid. Kampanye anti pelecehan digelar
habis-habisan, namun demikian pada saatyang sama wanita dipakai sebagai alat
untuk menarik perhatian di berbagai kesempatanresmi. Ironisnya, kadang-kadang
malah dilakukan oleh merekayang menyerukan sikap anti-pelecehan terhadap
wanita.
Melalui engineering of
consent(rekayasa persetujuan) diciptakan image(citra) --sekaligus rasa takut--
bahwa menikah muda hanya dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki
intelektualitas tinggi. Menikah muda adalah
tindakan orang yang berpendidikan rendah. Sehingga mereka tidak memiliki
kesiapan yang memadai (coba, apa ukurannya sehingga disebut memadai)untuk
menjadi istri dan ibu. Sementara itu, pada saat yang sama, sekolah dan
perguruan tinggi tidak pernah menyiapkan mereka untuk mengerti dan mencintai
tanggungjawab sebagai istri dan ibu. Ironisnya, berlawanan dengan pernyataan
sebelumnya, berkembang citra “untuk apa berpendidikan tinggi-tinggi sampai
jenjang perguruan tinggi kalau hanya untuk mendidik anak?” Alhasil, mereka
menjumpai suami, anak, dan rumahtangganya sebagai “hanya”. “Hanya” bangunan
yang disebutrumah. “Hanya”....
Jadi, ada yang perlu kita cermati
dengan kecerdasan tinggi. Ada yang perlu kita pikirkan di sini.
Sekarang pinangan telah datang.
Jawaban atas pinangan itu sedang dinantikan. Maka pertimbangkanlah
matang-matang, dengan melihat berbagai kondisi yang ada di sekeliling, serta
kondisi yang ada di dalam keluarga dan diri sendiri. Ayah perlu memikirkan
kemaslahatan anak gadisnya, sebelum mengambil keputusan. Engkau pun perlu
mempertimbangkan pinangan itu.